Masalah pengemis adalah masalah yang pelik. Ia tidak bisa dilihat hanya
dari satu sudut pandang. Masalah pengemis, pengamen, dll., merupakan masalah
dari berbagai aspek, seperti politik, sosial, dan ekonomi. Tergantung dari
kacamata mana kita memandangnya.
Pagi bukanlah
waktu yang tepat untuk menadahkan tangan. Mungkin pepatah itu yang dianut oleh
anak-anak yang biasa mengemis di jl. alun-alun bandung tepatnya didaerah Mesjid Agung. Ketika terang matahari sudah menunjukkan
pukul 10.00 WITA hingga malam pukul 21.00 WITA, jalan itu akan dipenuhi oleh
para pengemis tak berdosa. Pemandangan tersebut berlangsung setiap harinya
tanpa mengenal hari libur.
Dipinggiran jalan. anak-anak tersebut menjalankan operasinya. Tak sedikit dari mereka yang dengan setia dan tanpa mengenal lelah menunggu customer . Di tempat tersebut tidak hanya tampak anak-anak berusia puluhan tahun yang terkadang ngotot mendapatkan uang dari para pelintas jalan yang tidak semuanya berdompet tebal, akan tetapi juga anak-anak balita yang dipaksa belajar menyanyi seketika mereka dapat mengucapkan kata-kata sederhana dari mulut mungilnya.
Anehnya, para orang tua yang menemani anak-anak tersebut justru mendorong mereka untuk terus-menerus mendapatkan uang lebih. Terkadang anak-anak tersebut menerima bujuk rayu yang manis hingga teriakan sumpah-serapah agar mereka lebih giat mengemis demi kehidupan yang lebih baik. Miris? Tentu saja! Bagaimana mungkin para ayah dan ibu yang masih muda dan tampak tak bercacat itu justru "memaksa" anaknya untuk menadahkan tangan. Mereka secara sadar maupun tidak sadar telah melacurkan idealisme anak sekaligus merenggut cita-citanya dengan meremukkan mental perjuangan hidup mereka.
Dipinggiran jalan. anak-anak tersebut menjalankan operasinya. Tak sedikit dari mereka yang dengan setia dan tanpa mengenal lelah menunggu customer . Di tempat tersebut tidak hanya tampak anak-anak berusia puluhan tahun yang terkadang ngotot mendapatkan uang dari para pelintas jalan yang tidak semuanya berdompet tebal, akan tetapi juga anak-anak balita yang dipaksa belajar menyanyi seketika mereka dapat mengucapkan kata-kata sederhana dari mulut mungilnya.
Anehnya, para orang tua yang menemani anak-anak tersebut justru mendorong mereka untuk terus-menerus mendapatkan uang lebih. Terkadang anak-anak tersebut menerima bujuk rayu yang manis hingga teriakan sumpah-serapah agar mereka lebih giat mengemis demi kehidupan yang lebih baik. Miris? Tentu saja! Bagaimana mungkin para ayah dan ibu yang masih muda dan tampak tak bercacat itu justru "memaksa" anaknya untuk menadahkan tangan. Mereka secara sadar maupun tidak sadar telah melacurkan idealisme anak sekaligus merenggut cita-citanya dengan meremukkan mental perjuangan hidup mereka.
Ada apa dengan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa anak terlantar dipelihara oleh negara? Apakah maksud negara menetapkan ketentuan khusus dalam UUD 1945 tersebut? Anak-anak terlantar menggelandang dan menadahkan tangan di mana-mana, tetapi negara seperti sengaja menutup matanya. Para pejabat tanpa dosa melewati jalan-jalan dengan mobil mewah dan dikawal dengan iring-iringan yang menggema. Negara sudah mengkorup dana untuk anak-anak terlantar dan para pejabat korup telah pula membunuh nuraninya dengan tidak mengurus anak-anak yang semestinya mendapatkan hak-hak konstitusionalnya. Pejabat negara sudah tidak mempunyai rasa malu lagi sehingga anak-anak terlantar hanya ditolong dengan Pasal yang tidak pernah direalisasikan. Betapa munafik!
Pada saat teman-temannya berada di ruang kelas untuk mengikuti pelajaran, mereka tidak bisa berada di sana dikarenakan tidak mampu membayar biaya sekolah. Disaat anak-anak lain sedang menonton televisi di ruang keluarga, pengemis-pengemis kecil itu mengetuk tiap kaca mobil untuk meminta receh dan mengucap salam dengan menghinakan muka tak berdosa mereka, dengan harapan agar pengendara motor rela memberikan separuh rezekinya. Betapa wajah-wajah malaikat itu telah disulap menjadi manusia dengan seribu muka. Tak heran di kemudian hari kemunafikan muncul di setiap sudut bumi Indonesia. Negara telah ingkar janji. Negara tidak selayak merpati yang seputih hati merealisasikan ucapan-ucapannya. Rakyat sudah kehilangan kepercayaan terhadap penguasa walaupun bibir mereka bersuara bahwa penguasa patut untuk dipercaya.
Dalam hal ini, penguasa dan rakyat ternyata saling memperdaya. Penguasa mengumbar janji-janji manis di kala PEMILU. Mereka membagi uang dan sembako kepada rakyat agar rakyat sudi memilih mereka. Rakyat tidak bodoh. Dalam praktiknya, banyak yang menerima uang dan sembako tetapi justru memilih calon lain. Hal ini seperti vicious circle saja, lingkaran setan yang mungkin tidak akan berhenti jika penguasa tidak mengajarkan rakyat untuk tidak bersikap munafik. Rakyat melakukan kemunafikkan agar hidup menjadi lebih mudah. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa semakin dekat posisi seseorang dengan pejabat berkuasa maka semakin jayalah ia, terkecuali terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip idealismenya.
Sudah saatnya pejabat pemerintah yang berkunjung ke daerah-daerah tidak lagi membersihkan rute yang akan dilaluinya dari anak-anak yang mengemis, Pekerja Seks Komersial (PSK) yang menunggu di setiap sudut gelap kota, ataupun sekumpulan pemuda yang tengah asyik meneguk miras. Semakin pejabat negara melihat kenyataan ini, maka akan semakin mengertilah mereka akan hal-hal yang perlu dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup rakyat yang dipimpinnya. Janganlah lagi pejabat berkuasa menengok rakyat dengan kilapan yang dahsyat, sehingga orang-orang kecil itu pun enggan mendekat. Sekali-kali datanglah dalam suasana riil kehidupan mereka.
Di sanalah, di dalam kehidupan yang nyata, para pejabat negara dapat melihat dengan terang-benderang kehidupan antar tetangga yang saling bemusuhan hanya dikarenakan batas pekarangan rumah. Antar kampung saling menghujat karena PLN tidak mampu dalam melayani kebutuhan masyarakat yang kemudian diberlakukanlah pemadaman secara bergiliran namun dengan harga bayar listrik yang masih saja melambung.
Mereka yang menjadi wakil rakyat seyogyanya adalah mereka yang tidak hanya memiliki daya ucap dan nalar yang tajam, tetapi juga kecakapan nurani dan empati yang halus. Penulis bertanya, adakah hubungan antara Pasal 34 dengan anak-anak terlantar? Jika ada, apakah hubungan itu? Apakah hubungannya hanya sebatas untuk disandingkan dengan kata ”munafik”. Munafik karena hanya berjanji tanpa realisasi. Jika tidak ada perubahan, sampai kapan pun anak laki-laki dan perempuan akan tetap mengemis sepanjang Jl. Alun-Alun bandung. Akan jadi apakah mereka sepuluh atau lima belas tahun mendatang?
Arye E.B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar